Selasa, 22 September 2020

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

 


Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup Desa Kolam dan Desa Saruhung di Kecamatan Tanah Siang. Gunung Bondang memiliki 5 puncak yaitu Puncak Karewa dengan ketinggian 1.410 Mdpl dan Puncak Lapak Pati setinggi 1.400 Mdpl. Sedangkan 3 puncak lainnya seperti Puncak Uwoi Pungkung, Puncak Anak Uning dan Puncak Tintai Tamiang memiliki ketinggian di bawah 1.400 Mdpl. Suhu di puncak Gunung Bondang berkisar 7 derajat Celcius hingga 11 derajat Celcius. Gunung bondang sendiri adalah ikon Kabupaten Murung Raya (Mura) yang dijuluki Tana Malai Tolung Lingu disekitar gunung ini juga terdapat beberapa gua dan air terjun. Sungai-sungai yang berhulu di Gunung Bondang diantaranya Sungai Bumbun, Sungai Lami, Sungai Lampuyat, Sungai Perai dan Sungai Balapakan. Semuanya merupakan anak Sungai Barito.


dan disinilah cerita legenda ini dimulai.......


Legenda ini berasal dari daerah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Tepatnya di daerah penduduk atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut Murung dan di daerah penduduk kampung Talung Nyaling. Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu ini asal mulanya ada di tanah Kayangan atau Danum Songiang.

Di tanah kayangan telah hidup dua orang perempuan yang sangat cantik yang bernama Bura dan Santaki ceritanya pada suatu hari kedua perempuan cantik ini turun kedunia atau anak Danum Kolunon untuk melihat dan mengamat-ngamati keadaan yang ada di anak Danum kolunon. Ketika sedang berjalan kedua perempuan cantik ini melihat bahwa di dunia atau anak Danum kolunan banyak sekali tempat-tempat yang sepi tidak ada sama sekali penghuninya. Sedang ketika kedua perempuan itu berjalan lagi ia melihat bahwa ada sekelompok manusia atau kolunon yang mendiami tempat tersebut.

Dalam hati kedua perempuan cantik itu bertanya kenapa di dunia manusia banyak sekali tempat-tempat sunyi dan sepi tidak ada penghuninya. Maka bersedihlah hati kedua perempuan yang bernama Bura dan Santaki itu. ketika kembali lagi ketanah kayangan, siang dan malam kedua perempuan itu merenungkan apa yang harus mereka perbuat. Supaya di dunia tidak ada lagi tempat sepi yang tidak ada penghuninya. Setelah berhari-hari kedua perempuan cantik itu memutuskan untuk menurunkan “Tana Malai Tolung Lingu tau petak Malai Buluh Merindu ke dunia atau anak Danum Kolunon sebagai songkolasan-songkolimo anak kolunon di muka bumi atau pindah ondou.Konon ceritanya Tana Malai Tolung Lingu adalah benda keramat milik manusia di tanah kayangan.

Tana Malai atau petak malai adalah tanah yang bertahun-tahun dikumpulkan oleh burung elang dari seluruh penjuru alam dimana ia pernah singgah. Tana Malai ini dikatakan tanah keramat, tanah ini menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia menempel atau melekat pada kaki burung elang pada saat ia terbang kea lam bebas dan pada saat kembali tanah itu akhirnya menumpuk dan akhirnya menjadi tempat burung elang itu tinggal atau menjadi tempat sarangnya.

Tana Malai itu berbau harum dan berwarna kuning keemasan. Konon cerita Tana Malai ini mempunyai kekuatan mistik yang bisa memikat siapapun yang pernah menyentuh tanah tersebut.

Seperti halnya burung elang, walau kemanapun ia pergi atau seberapa jauh burung elang itu pergi, burung elang akan berusaha kembali kesarangnya, yang dikarenakan pengruh dari Tana Malai atau Petak keramat tersebut yang menempel pada kakinya dan kemudian menjadi tempat sarangnya. Sedangkan Buluh merindu adalah bambu.

Pada suatu hari di tanah kayangan kedua perempuan cantik “ Bura dan Santaki pun menurunkan ke dunia atau pindah Ondou atau anak Danum kolunon Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu”. Bura Hoburup atau ngipas pertama Tana Malai Tolung Lingu atau menurunkan Tana Malai Tolung Lingu ke dunia yang jatuh tempatnya di Gunung Pancung Ampang Hulu Barito. Selatan itu yang kedua Santaki Hoburuh atau ngipas atau menurunkan Tana Malai Tolung lingu yang jatuh di Gunung Bondang tepatnya di hulu Sungai Laung Tana Malai Tolung lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini telah ditemukan oleh orang di dunia atau anak kolunon panda ondou.

Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Marindu ini di temukan oleh penduduk wilayah Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu yang berada di daerah pedalaman sekitar tahun 1720 dan 1721.

Sekitar tahun 1720 Nyahu bin Sangen dan Conihan penduduk yang pertama kali menemukan Tana Malai Tolung Lingu. Kedua orang ini masing-masing merupakan penduduk kampung suku siang Kono atau Desa Tumbang Topus kecamatan sekarang ut murung.

Keadaan penduduk suku siang kono pada waktu itu sangat primitive sekali baik cara berpakaian bahkan kondisi keberadaan mereka. Penduduk suku kono terkenal dengan daun telingga mereka yang lebar dan panjang yang disebabkan oleh benda-benda berat yang sengaja digantung pada dan telingga mereka sebagai anting agar tampak cantik bagi kaum perempuannya. Benda-benda itu berupa kayu, atau tulang-tulang binatang atau emas atapun perak. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-menurun dari nenek moyang mereka selain itu penduduk kampung suku kono pada zaman dahulu tidak mengunakan bersama selayaknya manusia pada zaman sekarang.

Tetapi mereka hanya mengunakan penutup badan yang tebuat dari serat-serat kayu disebut juga dengan enah yang hanya digunakan untuk menutupi tubuh di daerah sekitar kemaluannya.

Kehidupan penduduk suku kono pada saat itu hanya mengandalkan mata pencaharian berburu dan bercocok tanam secara berpindah-pindah

Pada tahun 1720 penduduk Suku Siang Kono yang bernama Nyahu Bin Sangen dan Conihan melakukan perjalanan untuk mencari sarang Burung ke Liang Gunung pancung Ampang yang tepatnya berada di antara Hulu Sungai Karamu dan Sungai Busang dan juga Hulu Sungai Chan anak Sungai Mahakam mati yang terdapat di Gunung Pancung Ampang yang di namai Cahai Uhai. Di puncak Gunung Pancang Ampanglah Nyahu Bin Sangen dan Conihan berusaha untuk mencari Tana Malai di sekitar Gunung Pancung Ampang itu kedua orang penduduk suku kono impun menemukan juga Tana Malai atau petah malai di lereng gunungPancung Ampang yang terdapat pada dinding atau batu lereng gunung ampang tersebut.

Untuk dapat mengambil Tana Malai, Nyahu Bin sangen dan Conihan terlebih dulu mengambil Tolung Ling yang telah mereka temukan. Kemudian barulah Nyahu Bin Sangen dan Conihan dapat mengambi Tanah Malai dengan Tolung Lingu mereka berdua mengambil Tana Malai dengan cara menyambung-menyambungkan Tolung Lingu dan dengan bagian ujung atas bambu Tana Malai diambil. konon cerita Tana Malai di ambil dengan mengunakan Tolung Linggu dikarenakan jarak antara Tana Malai berada di tempat tinggi di atas permukaan tanah tempat Nyahu Bin Sangen dan Colihan berdiri sehingga mereka mengunakan tolung lingu yang disambung-sambungkan hingga menjadi panjang dan juga dikarenakan Tana Malai tidak dapat sembarang di sentuh oleh orang. Tana Malai di ambil dengan bambu atau tolung Lingu dan masuk ke dalam Tolung Lingu atau bambu tesebut melalui bagian ujung atas bambu.

Ketika telah menemukan Tana Malai Tolung Lingu, Nyahu Bin Sangen memutuskan untuk kembali ke kampungnya untuk menceritakan kejadian itu kepada penduduk kampung mereka. Setelah melalui perjalanan yang Nyahu Bin Sangen dan conihanpun akhirnya sampai di kampungnya.

Kedua orang ini segera menceritakan perihal penemuan mereka tersebut kepada Tua-tua adat dan penduduk lainnya kemudian Tana Malai Tolung Lingu atau petak Malai Buluh Merindu bagi Suku Siang Kono dijadikan Songkolasan-Songkolimo atau pemikat atau penakluk hati. Konon ceritanya setiap orang asing atau tamu yang datang ke Hulu Barito, kalau mereka mandi atau minum air sungai barito mereka akan merasa lingo-lingo atau rasa ingin pulang kembali ke tempat asaalnya akan ditunda-tunda atau nanti-nanti saja dalam hatinya pada akhirnya tidak jadi pulang kembali ketempat asalnya tetapi akan kimpoi dan hidup menetap atau tinggal di Hulu Barito bersama dengan penduduk asli suku siang, punan, panyawung, ut Danum dan lain-lain. Sebab itu di Hulu Barito sekarang banayak sekali suku pendatang yang menetap disana.

Kemudian pada tahun 1721 Tana Malai Tolung Lingu telah di temukan oleh penduduk suku Siang Murung kampung Taluu Nyaling yang bernama “Nyaman” dan “Talawang Amai Meteh”. Tana Malai Tolung Lingu di temukan di gunung Bondang tepatnya di hulu sungai laung.

Kedu orang ini berjalan ke gunung Bondang, bermaksud untuk balampah atau bersemedi guna mencari alamat atau petunjuk yang baik agar memperoleh hidup sukses. Setelah melakukan perjalanan yang cukup dari kampungnya berhari-hari, kedua orang itu pun’ Nyaman dan Talawang Amai Meteh “akhirnya sampailah pada puncak gunung Bondang yang paling tinggi di antara gunung-gunung yang ada di daerah tersebut atau daerah murung Raya taua Puruk Cahu sekarang. Gunung Bondang yang paling tinggi itu disebut Lapak Pati.

Ketika Nyaman dan Talawang Amai Meteh telah berada di puncak Gunung Bondang di jumpailah Tolung lingu yang hidup di pncak Gunung Bondang tersebut. Kemudian mereka berdua mengambil Tolung Lingu dan mencari Tana Malai petak Malai dan akhirnyapun “Nyaman dan Talawang Amai Meteh” mendapatkannya.

“Nyaman dan Talawang Amai Meteh” telah menemukan Tana Malai buluh merindu sehingga mereka berdua memutuskan untuk membatalkan keinginan mereka untuk balampah atau bersemedi tetapi memutuskan untuk kembali ke kampung mereka kedua orang penduduk Suku Siang Murung ini melakukan perjalanan kembaali dengan melewati hutan belantara dan semak belukar dengan waktu yang berhari-hari. Sesampainya di kampung kedua orang itu menceritakan tentang Tana Malai Tolung Lingu yang telah mereka temukan kepada Tua-tua adat dan penduduk kampung mereka.

Tana Malai Tolung Lingu atau Petak Malai Buluh Merindu itu dijadikan Songkolasan-songkolimu penduduk Suku Siang Murung. Maka sebab itu kalau ada orang pendatang atau tamu yang mandi dan minum ari Sungai Laung, lalu merasa lingo-lingo atau lupa-lupa ingin pulang atau kembali ke daerah asalnya dan akhirnya menetap kimpoi dan menetap bersama penduduk asli di Hulu Sungai Laung yang sekarang menjadi Bumi Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.

Sampai pada saat inipun legenda ni masih di percaya oleh masyarakat di sepanjang sungai Barito Kabupaten Murung Raya atau Puruk Cahu. Demikian Legenda rakyat Tana Malai Tolung Lingu Kabupaten Murung Raya.***


Isen Mulang Petehku

Minggu, 20 September 2020

Batu Suli & Cerita Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang

 


Batu Suli merupakan objek wisata yang berlokasi di tepian Sungai Kahayan antara Desa Upon Batu dan Desa Tumbang Manange, Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Objek wisata ini menawarkan pemandangan indah dan mempesona, berbentuk batu besar yang menjulang tinggi di sungai Kahayan. Letaknya yang menjorok ke Sungai Kahayan seakan-akan batu ini jatuh ke sungai. Di sekitar objek wisata masih sangat alami, dengan pepohonan hutan yang tumbuh disekitarnya.

Di belakang Batu Suli ini sendiri ada sebuah bukit yang cukup tinggi yang tebingnya juga menjorok ke arah sungai, namanya Puruk Tamanggung Amai Rawang atau lebih singkatnya sering disebut Puruk Amai Rawang, diambil dari kata Puruk yang artinya Puncak Gunung/Bukit, dan nama Amai Rawang sendiri diambil dari seorang Tamanggung (sekarang lebih disebut Damang/Kepala Desa), bergelar Tamanggung Amai Rawang. Desa Upon Batu ini sendiri berada tepat di bawah bukit dan berdampingan dengan Batu Suli. Di atas puncak Amai Rawang ini sendiri terdapat sisa-sisa peninggalan budaya (Benda Cagar Budaya), salah satunya yakni Batu Antang.

Baik Batu Suli ataupun Puruk Amai Rawang memiliki cerita legendanya masing-masing.

1. Batu Suli
Legenda Batu Suli dipercayai oleh masyarakat Dayak Ngaju dan Ot Danum benar-benar pernah terjadi. Menurut cerita orang-orang tua, dahulu kala sebuah tebing batu yang disebut batu Suli pernah roboh sehingga menutup hubungan lalu-lintas ikan dari Kahayan Hulu ke Kahayan Hilir. Kejadian ini sungguh tidak mengenakan bagi bangsa Ikan, dahulu mereka mempunyai kekerabatan dan sanak saudara di Kahayan Hulu atau sebaliknya di Kahayan Hilir. Lama kelamaan keadaan itu tidak tertahankan lagi bagi bangsa Ikan, meraka merasa seperti terpenjara akibat putusnya aliran sungai Kahayan itu. Mereka benar-benar tersiksa aikbat peristiwa tebing longsor itu. Masalah besar bangsa ikan itu harus dicarikan pemecahannya. Untuk menanggulanginya, kemudian para ikan berkumpul dan mengadakan musyawarah besar di Sungai Kahayan. Musyawarah besar bangsa ikan itu akhirnya menghasilkan keputusan yaitu untuk menegakkan kembali tebing yang telah roboh itu. Akhirnya pada hari yang telah disepakati ribuan bangsa ikan berkumpul untuk bersama-sama menegakkan tebing yang menghambat sungai Kahayan itu. Ikan tapa sesuai dengan hasi musyawarah ditunjuk sebagai mandor. Pekerjaannya mengharuskan ia terus-menerus berteriak-teriak secara lantang agar semangat para pekerja bangsa ikan itu selalu tinggi. Sementra ikan pipih sesuai hasil musyawarah juga diberi tugas untuk memanggul tebing yang roboh itu di atas punggungnya yang pipih. Begitulah kerja keras bangsa ikan itu pun berlangsung sampai berhari-hari lamanya. Ahirnya berkat usaha keras segenap bangsa ikan itu, tebing Batu Suli dapat ditegakkan kembali seperti sediakala. Tentu saja hasil keras itu disambut dengan rasa bahagian oleh segenap bangsa ikan. Perasaan terpenjara sekian lama akhirnya bisa bebas lagi, dan bangsa ikan pun dapat kembali saling berhubungan antara di Kahayan hilir dan Kahayan hulu. Namun, rupanya hasil keras itu harus ditebus mahal oleh bangsa ikan yang terlibat dalam pekerjaan besar itu. Setiap ikan yang turut mengambil bagian dalam pekerjaan itu, harus menanggung akibat pekerjaan besar itu. Sebagai contohnya, keturunan ikan tapa, misalnya, karena kakeknya dahulu terlalu banyak membuka mulut untuk berteriak-teriak dalam tugasnya sebagai mandor, maka kini semua anak keturunannya memiliki mulut yang berukuran besar. Sementara keturunan ikan pipih, karena kakeknya harus memanggul tebing yang sangat berat itu, punggungnya bungkuk dan tulangnya hancur. Maka kini semua keturunan ikan pipih mempunyai punggung yang bungkuk dan tulangnya yang halus-halus.
Begitu cerita mengenai Batu Suli


2. Tamanggung Amai Rawang
Legenda Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang, merupakan legenda di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange di hulu Kahayan yang menceritakan berdirinya Kuta atau Benteng diatas Batu Suli Puruk Tamanggung.
Diceritakan, pada suatu hari, disaat semua orang di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange sedang berada di ladang karena pada saat itu memang sedang musim panen, tanpa disangka datanglah segerombolan Kayau dari suku Ot menyerang desa tersebut.
Disaat serangan terjadi, yang ada hanyalah beberapa orang kaum perempuan yang sedang mencuci pakaian dipinggir sungai Kahayan. Salah satunya adalah Nyai Inai Rawang istri dari Toendan yang bergelar Tamanggung Amai Rawang.
Akibat serangan tersebut, banyak yang mati, terluka maupun melarikan diri. Disaat Tamanggung Amai Rawang beserta adiknya Tewek yang bergelar Singa Puai pulang dari ladang, terkejutlah mereka melihat keadaan yang telah terjadi.
Maka disuruhnyalah Singa Puai untuk memanggil kembali kakak mereka yang tertua yang bernama Ucek beserta semua orang yang sedang bekerja diladang untuk mengadakan pembalasan.
Namun malang, ternyata gerombolan Kayau tersebut setelah menyerang kaum perempuan yang ada di Desa Upun Batu atau Tumbang Manange, mereka juga datang menyerang orang-orang yang sedang bekerja diladang, sehingga banyak mati dan terluka parah.
Dan sebelum gerombolan Kayau tersebut pulang, mereka sempat berpesan bahwa dalam tempo tujuh hari lagi mereka datang kembali.
Bila warga desa Upun Batu atau Tumbang Manange ingin selamat, mereka harus menyerahkan harta kekayaan mereka dan rela dijadikan budak.Namun bila mereka tidak mau menyerahkan harta benda, maka mereka akan dibunuh semuanya. Sebagai tanda ancaman tersebut, tertancaplah sebuah Sampalak, yaitu tanda bahwa daerah tersebut akan diserang atau di Kayau.
Kini tinggallah Tamanggung Amai Rawang beserta saudara-saudaranya dan segelintir warga desa yang tersisa, duduk termenung memikirkan bencana yang baru saja menimpa mereka. Ingin mengadakan pembalasan, apa daya kekuatan sudah tidak ada lagi.
Sehingga akhirnya muncullah ide untuk Manajah Antang, yaitu upacara memanggil burung Elang yang diyakini sebagai wujud penjelmaan dari para Antang Patahu, yaitu roh-roh leluhur yang bertugas sebagai dayang penunggu wilayah untuk meminta petunjuk dan pertolongan.
Tidak beberapa lama, upacara Manajah Antang pun dilakukan. Berdasarkan petunjuk yang diberikan oleh para Antang Patahu, bahwa Tamanggung Amai Rawang haruslah mendirikan kuta ataupun benteng diatas bukit batu yang terletak di tengah sungai, berseberangan dengan desa Upun Batu atau Tumbang Manange.
Apabila musuh datang dari arah matahari terbenam, maka mereka harus lari, sebab menandakan mereka akan kalah. Namun bila musuh datang dari arah matahari terbit, itu berarti mereka akan menang.
Dan Tamanggung Amai Rawang tidak boleh mencabut senjata mandaunya untuk menghalau musuh. Ia cukup duduk diatas gong sambil menonton apa yang terjadi, sebab para Antang Patahulah yang akan berperang baginya.
Ternyata, pada hari yang telah ditentukan, datanglah gerombolan Kayau untuk menyerang kembali Desa Upun Batu atau Tumbang Manange. Mereka datang dari arah matahari terbit dengan tampang yang ganas.
Namun sebelum mereka dapat menyentuh Tamanggung Amai Rawang, mereka sudah berjatuhan karena diserang oleh para Antang Patahu. Gerombolan Kayau tersebut takluk dan bersedia menjadi pengikut dari Tamanggung Amai Rawang.
Desa Upun Batu atau Tumbang Manange, akhirnya menjadi aman tentram kembali seperti dahulu kala berkat pertolongan para Antang Patahu yang adalah pengejawantahan dari pertolongan Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud jawaban dari upacara Tamanggung Amai Rawang Manajah Antang.**

3. Objek Wisata Alam dan Budaya
Batu Suli menawarkan keindahan yang sangat luar biasa, ada dua cara untuk menikmati keindahannya;
Pertama, dengan menaiki  bukit bebatuan itu dengan menempuh waktu antara 20-30 menit. Ketika telah tiba di puncak bukit bebatuan, maka mata pengunjung akan dimanjakan panorama indah Sungai Kahayan serta alam Kalimantan Tengah yang segar dan hijau. selain itu ada spot-spot yang akan ditemui di saat kita melakukan perjalanan ke Puruk Amai Rawang selain merupakan objek Wisata Alam, juga merupakan objek Wisata Budaya karena ada beberapa benda Cagar Budaya yang dapat kita jumpai. Ada beberapa peninggalan dari Tamanggung Amai Rawang yang dapat ditemukan ketika sampai di Puncak, yang pertama yakni Batu Antang, yaitu Batu tempat di mana Tamanggung Amai Rawang melakukan Ritual Manajah Antang (Ritual Memanggil Roh Leluhur). Pada sisi dalam Batu Antang terdapat sebuah celah yang konon barangsiapa yang dapat melewati celah itu dia akan panjang umur dan rejekinya dimudahkan. Kemudian Kubur Inai Rawang yaitu Istri dari Tamanggung Amai Rawang, kalau Kubur dari Tamanggung Amai Rawang sendiri masih belum dipastikan lokasinya. Beberapa jihi (tiang) dari Rumah Betang, karena dulu di puncak bukit ini pernah berdiri sebuah Rumah Betang. Ada juga salah satu tiang yang diberi tanda keramat (berupa kain kuning). Batu Tingkes (ini beda dengan Batu Tingkes di Bukit Batu Kasongan), ini terdiri dari kumpulan batu yang tersusun dari yang terkecil hingga yang terbesar. Mitos dari batu-batu ini konon siapapun yang bisa mengangkat batu yang paling besar, rejekinya pun juga besar. Yang mengangkat batu yang kecil, rejekinya pun kecil.
Kemudian ada beberapa Pasah Patahu, lalu sebuah Telaga yang disebut juga dengan Telaga Bawin Kameloh (sayangnya lupa moto). Apabila kita menyusuri jalan setapak di sekitaran Batu Antang akan ada berbagai pepohonan bambu (lebih tepatnya hutan bambu). Hingga tiba di ujung perjalanan, yaitu tepian jurang dengan sebuah rumah singgah kecil.
Kedua, Bagi yang tidak berani naik ke Atas, sudah cukup memandang keindahan Batu Suli dari bawah untuk melihat bukit bebatuan bak raksasa yang tinggi berdiri di antara hijaunya alam. atau menggunakan perahu/Kelotok menyisiri dari sungai Bila dilihat dari kejauhan Batu Suli bagaikan dinding raksasa perkasa yang berdiri tegak menjulang, sementara kakinya bermain di riak air yang deras.

Situs Batu Suli memiliki tinggi sekitar 476 MDPL dan perkiraan jarak 200 kilometer dari Kota Palangka Raya. Bentuk situs Batu Suli juga tergolong unik, seperti roti yang dibelah pisau dan dibagi dua.

Obyek wisata Batu Suli berjarak sekitar 200 km dari kota Palangka Raya. Anda dapat menggunakan transportasi darat menuju ke Desa Tumbang Manange yang memerlukan waktu sekitar lima jam perjalanan. Atau bisa juga menggunakan perahu kelotok menyusuri Sungai Kahayan dari Pelabuhan Tewah dengan waktu tempuh sekitar dua jam.

Minggu, 13 September 2020

Bukit Batu "Jejak Sejarah" terbentuknya Kalimantan Tengah




Bukit Batu merupakan salah satu objek wisata yang menjadi daya tarik wisatawan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, terbilang unik karena tidak hanya menjadi objek wisata, banyak juga warga yang datang untuk menggelar ritual di sana.

Berada di atas Bukit Batu yang terletak di tengah hutan Kalimantan (Tengah), seperti berada di tempat yang mustahil. Berada di atas Bukit Batu dengan segera orang akan membayangkan dari mana batu-batu besar itu berasal, karena tidak mungkin batu-batu itu berasal dari Sungai Katingan yang jaraknya cukup jauh, yaitu sekitar 15 Km2. Kalau batu-batu itu bekas dari puing-puing kerajaan, di Kalimantan Tengah tidak ada kerajaan yang berdiri karena merupakan daerah baru yang di buka dari hutan belantara. Berada di Bukit Batu seperti berada di satu tempat yang muskil terjadi. Karena Bukit Batu sulit dijelaskan melalui fenomena alam dan realitas historis, setidaknya seperti Borobudur misalnya, sehingga Bukit Batu menghadirkan sistem keyakinan tersendiri bagi masyarakat setempat dan mempunyai legenda untuk meneguhkan keberadaan Bukit Batu, yang sekaligus, legenda itu, berfungsi sebagai legitimasi.

Nama Bukit Batu bukanlah nama asing bagi orang Kalimantan, setidaknya untuk Kalimantan Tengah. Memang, Bukit Batu terletak di desa Kasongan, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Kisah yang bergulir pada masa silam, seorang yang bernama Burut Ules tinggal di desa Tumbang Linting. Burut Ules dikenal sebagai seorang yang mempunyai kemampuan spritual tingkat tinggi, yang dalam bahasa setempat disebut sebagai bakaji. Seperti halnya di Jawa ada kisah Djaka Tarub yang mengambil selendang salah satu bidadari yang sedang mandi di telaga kemudian mengawini bidadari tersebut. Kisah Burut Ules menyerupai hal itu. Dia, Burut Ules, mengambil besaluka yang di Jawa dikenal dengan nama jarik. Bukan hanya sekali dia melihat tujuh dara yang turun dari langit dan mandi di telaga yang berada di tengah hutan belantara yang sedang ia persiapkan sebagai tempat tinggal. Ketika dengan sengaja Burut Ules menunggu sambil sembunyi disemak-semak, tujuh dara yang dia tunggu turun dari langit menuju telaga setelah melepaskan seluruh pakaian semuanya mandi di telaga. Burut Ules tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, yang mungkin tidak akan datang lagi, pada saat para dara itu menginjak tanah untuk mengenakan pakaian, Burut Ules muncul dari semak-semak langsung memeluk buah hatinya, yang tak lain bungsu dari para bidadari.

Singkat kisah, Burut Ules lalu mengawini dara bungsu itu dan untuk menjaga agar tidak kembali ke tempatnya, Burut Ules menyembunyikan pakaian dara yang dipersunting itu. Sampai pada klimaksnya, setelah keduanya bahagia mempunyai seorang anak, Burut Ules tidak bisa menerima kehadiran seorang anak muda, mamut menteng, yang dikenalkan istrinya sebagai saudaranya, lantaran terlalu sering pergi berduaan mandi di telaga dengan meninggalkan anaknya yang masih bayi, akhirnya Burut Ules membunuh pemuda itu. Mengerti akan hal itu, istri Burut Ules marah dan pergi meninggalkan suaminya dengan membawa serta anak laki-lakinya. Sebelum pergi istrinya sempat menyampaikan pesan, bahwa kelak kalau dewasa anak laki-lakinya akan kembali ke alam ayahnya karena dia tidak bisa tinggal di alam ibunya.

Putri ketiga Tjilik Riwut, Theresia Nila Ambun Triwati Suseno dalam bukunya yang berjudul "Manaser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur" menutup kisah Burut Ules dengan menulis:

"Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar suara gemuruh halilintar memekakkan telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat itu sebuah batu besar diturnkan dari langit. Diyakini bahwa anak Burut Ules yang telah gaib bersama istri pertamanya, saat itu telah dewasa. Sesuai janji, apabila telah dewasa ia akan kembali ke alam bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah ditepati. Batu yang diturunkan dari langit kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu dan diyakini sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani, namun ia ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut…"

Sebagaimana legenda yang tidak menunjuk waktu peristiwa. Legenda Burut Ules dan Bukit Batu juga tidak bisa dilacak waktu kejadiannya, tetapi diyakini sebagai sungguh terjadi. Kisah cerita itu mengidentifikasi "Bukit Batu" sebagai makhluk yang mempunyai jenis kelamin laki-laki.

Dari Bukit Batu inilah kisah Tjilik Riwut mengawali jejak. Riwut Dahiang, ayah Tjilik Riwut, menginginkan mempunyai seorang anak laki-laki sebab setiap anaknya lahir laki-laki selalu meninggal. Di Bukit Batu Riwut Dahiang bertapa, dalam bahasa setempat disebut sebagai balampah untuk memohon kepada Hatalla (Tuhan) supaya mendapatkan anak laki-laki. Wangsit yang diperoleh dalam pertapaan itu ialah, bahwa anak laki-laki Riwut Dahiang yang akan dilahirkan kelak akan mengemban tugas khusus untuk masyarakat sukunya.

Tjilik Riwut dalam masa pertumbuhannya hampir tidak pernah melupakan Bukit Batu. Dalam usia yang masih belia, Tjilik Riwut biasa pergi meninggalkan teman bermainnya untuk menuju Bukit Batu, yang jaraknya dari tempat tinggalnya sekitar 15 Km. Tjilik Riwut berjalan menuju Bukit Batu untuk melakukan apa yang dulu pernah dilakukan oleh ayahnya, Riwut Dahiang.

Di Bukit Batu, seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya, Tjilik Riwut melakukan apa yang disebut sebagai balampah (semedi, bertapa). Di tempat yang dianggap keramat itu Tjilik Riwut bersemedi untuk merenungkan kehidupannya. Dalam bertapa itu, lagi-lagi mendapat wangsit seperti yang pernah dialami oleh ayahnya. Wangsit yang pertama diperoleh ialah, supaya Tjilik Riwut menyeberang laut untuk menuju Pulau Jawa. Hampir sulit wangsit itu dilaksanakan, karena pada jaman itu, transportasi di Kalimantan masih sangat lemah untuk menuju Jawa, sehingga bisa dikatakan mustahil, apalagi harus ditempuh dari desa Kasongan di mana Tjilik Riwut lahir dan tinggal. Untuk pergi ke Banjarmasin yang terletak di pulau yang sama dengan Kalimantan, pada waktu itu bukan main susahnya.

Bukit Batu sekarang dikenal dengan nama “Tempat Pertapaan Tjilik Riwut”. Letak Bukit Batu dari kota Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah sekitar 40 Km. Namun dari Kabupaten Katingan hanya sekitar 10 Km. Untuk menunu ke Bukit Batu dari Palangka Raya bisa menggunakan transportasi umum atau mobil pribadi. Hanya karena transportasi umum tidak terlalu sering, sehingga terasa lama dalam menunggu. Sebagai salah satu obyek wisata Kalimantan Tengah umumnya, dan di Kabupaten Katingan khususnya, belum dikelola secara memadai. Terlepas sebagai obyek wisata, Bukit Batu memilik “jejak sejarah” terhadap terbentuknya Kalimantan Tengah.

Jumat, 11 September 2020

PULAU SELUNG/SELONG (BORNEO/BRUNEO /BRUNEI/KALIMANTAN)

 

Sebuah kisah Genesis Suku Bangsa Dayak di Pulau Selung / Pulau Kalimantan



Adat Suku Bangsa Dayak ini telah ada sejak waktu yg telah lama, menurut penuturan secara turun temurun. Nama asal Pulau Kalimantan adalah Pulau “ SELUNG “ yang berarti dibuat secara khusus.

Pada jaman penjajahan Belanda dan di utara oleh Orang Inggris disebut BORNEO / Brunei dan setelah Indonesia merdeka di bagian Indonesia diberi nama Pulau KALIMANTAN adalah nama menurut Indonesia. Menurut penuturan para leluhur pada waktu awal mula pertama yg ditutur dalam Legend Tatum Tambun Bungai bahwa asalnya si pulau Selung ini ada empat tempat seperti berikut :

1. Ditantan Sama Tuan ( Bukit Keminting ) atau Pegunungan Schwanhner dan Muller yg diturunkan
Ranying Hatalla dengan PALANGKA BULAU di sana HAWUN DAN BALUN. Hawun dan balun memperanakan Ranying Uhing, Ranying Uhing beranakan Sabira Nangui Garantung, Sabira Nangui Garantung memperanakan Sabira Nangui Pahawang, Sabira Nangui Pahawang memperanakan Raja Mangku Langit, Raja Mangku Langit memperanakan Antang Bajela Bulau, Antang Bajela Bulau memperanakan Raja Burung bua, Raja Burung Bua memperanakan Raja Rambung dan Andin atau keturunan yang kesembilan.

2. Di Liang Mengan
Raja Dari Dara dengan keturunan nya. Raja Dari Dara memperanakan Raja Mungkar Bunu, Raja Mungkar Bunu memperanakan Haramaung Menteng, Raja Haramaung Menteng memperanakan Raja Marangkesau Langit, Raja Marangkesau Langit beranakan Raja Tampung Lamiang, Raja Tampung Lamiang memperanakan Pimping Menteng, Raja Pimping Menteng memperanakan Raja Kangkaklingen Andau, Raja Kangkalingen Andau Pangeran Kalangkang ambun Penyang atau keturunan yg ketujuh setelah diturunkan.

3. Di Datah Kasiang
Raja Ujan Bulou dengan keturunannya. Raja Ujan Bulou memperanakan Raja Bagetas Tengap, Raja Bagetas Tengap memperanakan Raja Manjak Bunu, Raja Manjak Bunu memperanakan Raja Tunggal Sangkalemu, Raja Tunggal Sangkalemu Raja Bahing Penyang Menteng, Raja Bahing Penyang Menteng memperanakan Raja Bahing Penyang Sangkalemu, Raja Bahing Penyang Sangkalemu memperanakan Raja Garing Hatampung, Raja Garing Hatampung beranakan Andin, Kameloh Ujan Bulan, Kameloh Taran Bulan dan Kameloh Kangkalingen Ondou atau keturunan yg ketujuh setelah diturunkan.

4. Di Batu Ajou
Sirou Batu Ajou dengan isterinya Nyai Sumping Bulou dengan Keturunannya.
Yang menurunkan
1. Rajan Punan
2. Rajan Bantian
3. Rajan Paneheng
4. Rajan Pari / Kareho
5. Rajan Kanyawung
6. Rajan Kenyah
7. Rajan Bahau
Dan yang lain nya.

Selanjutnya Raja Rambung kimpoi dengan Kameloh Kangkalingei Ondou beranakan SEMPUNG Dan dari isteri yang kedua, Raja rambung beranakkan Bungkai ini adalah keturunan yg kedelapan.
SEMPUNG kimpoi dengan Kameloh Mandalan Bulan anak Pangeran Kalangkang Ambun Penyang Saudara sepupunya.

SEMPUNG dan Kameloh Mandalan Bulan memperanakan anak pertama seorang Perempuan bernama Tabura dan anaknya yang kedua di beri nama BUNGAI atau keturunan yg ke sembilan.

BUNGKAI kimpoi dengan Kameloh Untai Bulan anak ANDIN saudara sepupunya dan memperanakan yang pertama perempuan diberi nama Rumpung dan anaknya yg kedua diberi nama TAMBUN, atau keturunan yg kesembilan sesudah diturunkan.

TAMBUN & BUNGAI nenek leluhur suku Dayak dan menjadikan keturunan bagi Orang Dayak yang mendiami Pulau SELUNG / SELONG atau pulau Kalimantan sekarang.

Tabe




Kamis, 10 September 2020

Mengenal Sosok “GEORGE OBOS” [Pahlawan/Sejarah]

 


I. Pendahuluan
Sampai saat ini banyak masyarakat Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya Kota Palangka Raya yang belum tahu asal usul penamaan Jalan G. Obos.
Jalan G. Obos di Kota Palangka Raya ada karena untuk mengenang salah satu Pahlawan Perintis Kemerdekaan, yang kalau tidak singkat menjadi George Obos, namun untuk penulisan namanya masih salah. menurut Buku Sejarah Palangka Raya, Penulisan dan pelafalan nama yg benar berdasarkan sumber pustaka adalah George Obus, beliau lahir Hari Rabu, tanggal 24 Desember 1902. Lahir di Kasongan Kabupaten Katingan yang di sebut dalam bahasa Dayak Kuno "Tewang Sangalang Garing".
Menurut Teddy Toeweh, yang merupakan keturunan dari G.Obos, nama asli kakeknya yang benar adalah George Obus Umar. Kata Umar diambilkan dari nama ayahnya, yaitu Heine Umar. Saat penjajahan Belanda, kata Umar dihilangkan.
“Tidak dicantumkannya nama Umar karena untuk melindungi keluarganya dari buruan penjajah. Sebab nama keluarganya di Kalimantan banyak yang memakai kata Umar. Takutnya keluarganya ikut ditangkap, makanya supaya keluarganya tetap aman, maka kata Umar dalam nama G Obus tidak dicantumkan,” tutur Teddy Toeweh saat diskusi Jejak G. Obos, beberapa waktu lalu.

Pada tahun 1926 G.Obus lulus dari Zeevaart School (Sekolah Pelayaran) di Surabaya. Dan juga menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Tinggi Bahasa Jepang (Koto Nipponggo Gakko) di Surabaya. Pada masa itu mulai timbul pergerakan kebangkitan Asia dengan munculnya kesadaran untuk berorganisasi.

II. Perjuangan Sebelum Kemerdekaan
Kesadaran berorganisasi pun mulai menimbulkan ide bagi para pemuda Kalimantan (Borneo) yg berada di Jawa. Maka tanggal 21 Mei 1926 berdiri organisasi Pemuda Borneo di Surabaya dan menunjuk George Obus sebagai Komisaris untuk wilayah Kalimantan Selatan (Borneo Selatan - pada saat ini menjadi Kalsel dan Kalteng). Dalam gerakan kepemudaan, G. Obus (berdarah Dayak) bersama Masri (berdarah Banjar) menjadi wakil Persatuan Pemuda Borneo yg berkedudukan di Surabaya , dalam kongres Pemuda 1928. Yg terkenal menghasilkan "Soempah Pemoeda."
Pada tanggal 8 Juni 1929 di Surabaya berdiri Partai Politik dgn nama Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) , yg di ketuai oleh Dr. Soetomo. Dlm susunan kepengurusan PBI , G.Obus duduk dalam pengurus inti . Setelah 6 tahun PBI di bentuk dilakukan musyawarah besar bersama Boedi Oetomo dan Pengurus Besar PBI di Surakarta. Dalam musyawarah ini menghasilkan kesepakatan untuk bergabung, kemudian membentuk Partai Indonesia Raya (PARINDRA) . Dlm PARINDRA ini G.Obus menjadi satu Pengurus.

Pada bulan Juni 1944, organisasi Pemuda Kalimantan (Borneo) yg dipelopori G. Obus bersama pengurus lain seperti Gusti Mayur, H. Abdulgamasir, H. Mugeni Tayib, mengadakan pertemuan menyusun strategi mempersiapkan perlawanan thdp pendudukan Jepang. Seiring kekalahan Jepang thdp sekutu, pd tgl 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia menyatakan Kemerdekaannya.

III. Perjuangan Merpertahankan Kemerdekaan
Bulan September 1945, G. Obus terpilih sebagai ketua Badan Oesaha Gobernur Boerneo (BPOG). BPOG bersama PRIK (Pemuda Republik Indonesia Kalimantan) menyusun rencana untuk mengirimkan ekspedisi ke Kalimantan dgn menggunakan Kapal Laut, maka G. Obus selaku ketua BPOG di dampingi Gusti Mayur berangkat ke Bandung menghadap Gubernur Kalimantan Selatan, Ir. P.M. Noor. Kemudian mereka kembali ke Surabaya, dimana suasana mulai kacau dan siap tempur melawan tentara Jepang.

Tanggal 19 September 1945 Terjadi peristiwa Hotel Oranye (Hotel Yamato - Surabaya). Peristiwa bermula ketika sekelompok orang Belanda yang dipimpin Mr. Pluegman mengibarkan bendera Merah Putih Biru di puncak sebelah kanan hotel. Para pejuang Indonesia melakukan perobekan warna biru pada bendera Belanda, yang berwarna merah, putih dan biru, dengan demikian bendera itu menjadi merah putih yaitu bendera Republik Indonesia. Insiden bendera itu juga mengakibatkan terbunuhnya Mr. Pluegman. Para pejuang Kalimantan yg tergabung dlm PRIK dan BPOG juga melakukan penyerangan thd markas-markas tentara Jepang dan gedung Kenpeitai. Merampas senjata dalam jumlah yg banyak.

Kedatangan Sekutu dan NICA di Surabaya yg dimulai dr September sampai November 1945. Disambut dgn pertempuran di beberapa front , dimana anggota Pemuda Kalimantan (Borneo) yg tergabung dalam PRIK dan BPOG ikut dalam pertempuran tersebut. Selain itu BPOG juga sibuk melakukan mengirimkan ekspedisi ke Kalimantan dgn Kapal bernama "Merdeka" , walaupun kapal "Merdeka" rusak ditembaki tentara Sekutu , tp pengiriman ekspedisi ke Kalimantan masih dilakukan dgn menggunakan Kapal Layar. Pada pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya , G. Obus ikut berjuang mempertahankan front Utara (daerah Pelabuhan sekarang ). Pada akhir Desember 1945, BPOG dibubarkan dan dibentuklah Ikatan Pejuang Kalimantan (IPK).

Pada tanggal 4 April 1946 Staf Pimpinan ALRI Divisi IV Kalimantan dilantik di Mojokerto :

- Komandan : Letnan Kolonel Djakaria Makdun
- Kepala Staf : Mayor Firmansjah
- Kepala Keuangan Merangkap S.O.I. MB ALRI : Mayor George Obus
- Kepala Staf I : Letnan I A. Zaidi
- Kepala Ketentaraan : Kapten Anang Pieter
- Keuangan : Letnan I Achmad Sarwani
- Tata Usaha : Letnan I H. Sirat
- Penghubung Divisi Dengan MB ALRI : Kapten Beyk
- Wakil Tata Usaha : Letnan II Gusti Anawar
- Perlengkapan : Letnan II Darmansjah

Markas Besar ALRI Divisi IV Kalimantan di Mojokerto, kemudian membagi daerah Kalimantan atas 3 daerah ALRI, yaitu Divisi IV pertahanan A untuk daerah Kalimantan Selatan (termasuk Kalteng sekarang), ALRI Divisi IV B di daerah Kalimantan Barat, ALRI Divisi IV C di daerah Kalimantan Timur.

G. Obus dgn Pangkat Letnan Kolonel Angkatan Laut RI (ALRI) ditugaskan menjadi staf ALRI divisi IV bagian Intelejen merangkap Staf IV/Intelijen Mabes TNI-AD sampai thn 1951. Pada thn 1951 G. Obus Diangkat menjadi anggota KNIP berdasarkan keputusan Presiden RI no 38 thn 1951 dgn domisili Yogyakarta.

Tugas G. Obus dlm KNIP adalah melakukan pendekatan kpd Pemerintah Negara Federasi RIS di Kalimantan yaitu : Dewan Dayak Besar , Federasi Kalimantan Timur , Dewan Daerah Banjar, Federasi Kalimantan Tenggara dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat untuk bergabung kembali ke RI. Dlm tugasnya 4 Negara Federasi RIS menyatakan siap bergabung , kecuali Daerah Istimewa Kalimantan Barat.

IV. Di Kalimantan
Pada tanggal 29 Juni 1950 ditandai dgn keputusan Menteri Dalam Negeri No : C.17/15/3 ttg pembentukan Daerah yg berhak mengatur rumah tangganya sendiri maka ditetapkanlah G. Obus sbg Bupati Kepala Daerah Kabupaten Barito Utara masa bakti 1951-1954 (kemudian tgl ini menjadi hari jadi Kabupaten Barito Utara ).

Berdasarkan ketentuan ketentuan UU Darurat no. 3 thn 1953 thn 1953. Lembaran negara No.9 tahn 1953 , Tambahan lembaran Negara No. 352, maka kabupaten Kapuas yg meliputi Kawedanan-kawedanan Kapuas , Kahayan dan Dayak Hulu sebagaimana Keputusan Menteri Dalam Negeri No C17/15/3 jo.- No Pem 20/1/147 - Jo Keputusan Menteri Dalam Negeri tgl 8 September 1951 No Pem 20/6/10 . Sehubungan dgn ini maka G. Obus diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Kapuas. Masa bakti 1956-1958 menggantikan R. Badrus Sapari.

Bulan Desember 1953 sebuah delegasi tokoh-tokoh DAYAK yg dipimpin oleh bupati Barito , George Obus melakukan pertemuan dgn C. Simbar. Sebuah kesepakatan telah tercapai, sebab hari berikutnya CHRISTIAN SIMBAR menyerah dengan 129 pengikutnya (Indonesia Berdjuang 05-12-1953,06-12-1953).

V. Pembentukan Provinsi Kalteng
Keinginan Pembentukan Propinsi Otonom Kalimantan Tengah yang meliputi 3 kabupaten yaitu Kapuas, Barito dan Kotawaringin, akhirnya disetujui oleh pemerintah RI. Pada tanggal 28 Desember 1956 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan nomor U.P.34/41/24 yang antara lain menyatakan terbentuknya Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah yang berkedudukan langsung dibawah Kementrian Dalam Negeri. Kantor persiapan tersebut untuk sementara ditempatkan di Banjarmasin serta ditunjuk 21 orang personil sebagai pelaksana dan sementara berkantor di kantor gubernur Kalimantan.

Gubernur RTA Milono ditunjuk sebagai Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah. Pelaksana tugas-tugas yang menyangkut urusan Pemerintah Pusat ,bertanggung jawab langsung kepada Menteri Dalam Negeri sedang urusan Daerah Otonom, bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Selatan. Selanjutnya Tjilik Riwut (pada waktu menjabat sebagai Residen pada Kementerian Dalam Negeri) dan George Obus Bupati Kepala Daerah Kapuas, ditugaskan membantu Gubernur Pembentuk provinsi Kalimantan Tengah di Banjarmasin, sekaligus Bupati G.Obus diangkat sebagai Kepala Kantor Persiapan Kalimantan Tengah. Drs F.A.D Patianom ditunjuk sebagai Sekretaris Kantor Persiapan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah. Residen Tjilik Riwut dan Bupati G Obus membantu Gubernur RTA Milono agar pembentukan propinsi Otonom Kalimantan Tengah dapat terlaksana dalam waktu secepatnya.

Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah R.T.A. Milono selanjutnya mengambil suatu kebijaksanaan membentuk Panitia untuk merumuskan dan mencari dimana daerah atau tempat yang pantas/wajar untuk dijadikan Ibukota Propinsi Kalimantan Tengah. Panitia yang dibentuk pada tanggal 23 Januari 1957 terdiri dari :
a. Mahir Mahar, Ketua Kongres Rakyat kalimantan Tengah, sebagai Ketua merangkap Anggota.
b. Tjilik Riwut, Residen pada Kementerian dalam Negeri diperbantukan pada Gubernur Pembentuk Propinsi Kalimantan Tengah, sebagai Anggota.
c. G. Obus, Bupati Kepala Daerah diperbantukan pada Gubernur PembentukPropinsi Kalimantan Tengah, sebagai Anggota.
d. E. Kamis, Pensiunan Korps Pamong Praja/kiai (Wedana) dan Pimpinan PT Sampit Dayak di Sampit, sebagai Anggota.
e. C. Mihing, Pegawai/Pejabat pada Jawatan Penerangan Propinsi Kalimantan di Banjarmasin sebagai Sekretaris merangkap Anggota,dan sebagai Penasihat ahli adalah :
a. R. Moenasier, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Persiapan Propinsi Kalimantan Tengah.
b. Ir. D.A.W. van Der Pijl, Pegawai Dinas Pekerjaan Umum Persiapan Propinsi Kalimantan Tengah/Kepala Bagian Gedung-gedung.
Yang kemudian memutuskan Pahandut (Palangka Raya sekarang, yang pada saat itu masuk wilayah Kabupaten Kapuas) menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.

G.Obus ditunjuk sebagai Bupati Barito dan Bupati Kapuas 1956-1958
Pada tahun 1960-1967 George Obus menjadi anggota MPRS.

VI. Penutup
Pada Senin tanggal 19 April 1982 pukul 19.30 WIB , rakyat Kalimantan Tengah berduka, dengan wafatnya seorang putera terbaiknya. George Obus wafat di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin karena menderita sakit, dimakamkan di komplek pekuburan Kristen, Pahandut, Kota Palangka Raya. Pada saat wafat , George Obus meninggalkan seorang Istri (Emilie Hillep), 9 anak ( 5 laki-laki dan 4 perempuan ), 37 Cucu dan 10 Cicit.

*Catatan : George Obus juga sering disapa dgn nama Bapa Ferdy .

VII Daftar Bintang Jasa
1. Bintang Gerilya
2. Satyalencana Perang Kemerdekaan I
3. Satyalencana Perang Kemerdekaan II
4. Satyalencana GOM I
5. Satyalencana GOM II
6. Satyalencana GOM IV
7. Satyalencana Penegakan Kemerdekaan RI

Selain itu, George Obus oleh Pemerintan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah , diabadikan namanya menjadi nama Jalan Besar di Kota Palangka Raya ( Jalan G. Obos )

SEKIAN

Daftar pustaka :

  • Buku "Sejarah Kota Palangkaraya" 2003
  • Buku "Dari DAS Sungai Katingan lahir pejuang dan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia G. Obus" pengarang T.T. Suan
  • Buku "Sejarah Kabupaten Kapuas (Kalteng) : berdirinya kota Kuala Kapuas dan terbentuknya Kabupaten Kapuas"
  • Diskusi Jejak G Obos
  • Foto Dokumen IJTI Kalteng (Diskusi Jejak G Obos)
  • Folk Of Dayak


Minggu, 17 Agustus 2014

Perjalanan Sang Pangeran

Keluarnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma dari sungai Sebangau karena merasa wilayah itu masih dekat dengan negeri atau kerajaan Banjar. Sebab itulah maka Pangeran Adipati Antakesuma menamai daerah ini termasuk sungai dan teluknya dengan Sebangau, karena ngangau  (bahasa Banjar : ingar, suara ribut, gaduh, hiruk pikuk) orang-orang di Banjar masih kedengaran. 
                Beberapa hari kemudian rombongan itu menemukan sebuah sungai serta memasukinya. Sebuah dusun yang penduduknya hidup dari menangkap ikan mereka singgahi. Di sini rombongan Pangeran Adipati Antakesuma bermalam.  Tempat itu belum punya nama; namun mereka mengetahui adanya kerajaan Banjar, sebab kadang-kadang mereka memasarkan hasil perolehannya berupa ikan kering ke Bandar Masih (sekarang Banjarmasin).
                Semua warga dusun melayani rombongan Pangeran dengan ramahnya, selama beberapa hari mereka tidak melaut (mencari ikan ke laut). Pangeran mengatakan bahwa akibat kedatangannya maka warga dusun itu terpaksa bahaur (bahasa Banjar :  menjadi sibuk) sedikit.  Namun setiap malam masih terdengar suara agung (bahasa Banjar : gong) Kayat Peradah terbawa angin sampai ke tempat ini.  Pangeran memutuskan untuk meneruskan perjalanannya.
                Sebelum berangkat Pangeran Adipati Antakesuma menyerahkan sekedar biaya untuk mengganti perongkosannya selama bermalam di tempat itu.  Karena dipaksa akhirnya kepala dusun itu menerimanya dengan beberapa kali mengatakan bahwa pemberian Pangeran itu bagi mereka kahaian (bahasa Dayak Ngaju : terlalu besar, terlalu banyak). Sejak saat itulah dusun mereka itu dikenal dengan sebutan Bahaur dan sungai itu hingga sekarang disebut dengan nama sungai Kahaian atau sungai Kahayan.
                Kembali ketujuh buah perahu layar itu terombang-ambing oleh gelombang ketika menyusuri pesisir pantai laut Jawa. Tiga hari kemudian mereka melihat muara sebuah sungai dan lalu memasukinya. Ada setengah hari pelayaran dengan hanya berdayung hingga mereka menjumpai sebuah kampung. Penduduknya kebanyakan beragama Islam dan ternyata juga berasal dari daerah dan suku Banjar.
                Ketika bermalam di kampung ini sayup-sayup masih terdengar suara Kayat Peradah terbawa angin. Walaupun penduduk kampung di sungai Katingan ini menginginkan Pangeran Adipati Antakesuma untuk menetap serta mendirikan kerajaannya, namun Pangeran agak kurang berkenan.
                Pangeran lalu berkata : “Aku sangat berterima kasih pada kalian warga kampung ini. Namun untuk mendirikan kerajaan serta menjadi raja di sini aku merasa hawai (bahasa Banjar : hambar, kurang berkenan) sebab masih kudengar suara agung Kayat Peradah. Hal itu menandakan bahwa tempat ini masih dekat dengan kerajaan Banjar.  Sebab itu sungai dan kampung ini kunamakan Mendawai”.
                Esok harinya rombongan Pangeran kembali berlayar dan sehari kemudian terlihat muara sungai Mentaya. Pangeran dan pengikutnya memasuki sungai ini hingga sampai pertengahannya serta  bermalam di sebuah kampung selama tiga hari. Penduduk kampung ini menerimanya dengan baik dan menginginkan Pangeran menetap di kampung mereka. Namun nampaknya Pangeran masih berpikir, itu terlihat dari dahinya yang berkerut.
                Tiga hari kemudian Pangeran mengumpulkan kerabatnya dan warga kampung, lalu beliau berkata : “Aku sangat berterimakasih dengan sikap warga kampung ini yang menerima kedatanganku dengan tulus ikhlas. Namun suara agung Kayat Peradah masih kudengar dan itu menandakan daerah ini masih dekat dengan kerajaan Banjar. Lagi pula sungai ini terlalu pendek dan perairannya sangat sampit (bahasa Banjar : sempit, tidak leluasa) sebab banyaknya pulau di tengah sungai. Maka sebagai kenangan kunamai sungai serta kampung ini dengan Sampit. Aku bermohon diri meneruskan perjalananku mencari tempat yang sesuai untuk mendirikan kerajaanku”.
                Kembali tujuh buah perahu itu berlayar menyusuri pesisir pantai menuju ke arah barat. Setelah berada empat hari di laut, akhirnya rombongan Pangeran Adipati Antakesuma memasuki sungai Seruyan. Dari laut sudah kelihatan ada sebuah kampung yang cukup besar terletak di muaranya. Rombongan Pangeran lalu berhenti dan bermalam di tempat itu.
                Malam harinya Pangeran duduk termenung, ia sangat menyenangi tempat ini. Malam penuh bintang di langit. Puncak gelombang-gelombang kecil di laut lepas menimbulkan garis-garis putih yang timbul tenggelam, sungguh indah pemandangannya.
                Sudah beberapa malam ini tidak terdengar sama sekali suara agung Kayat Peradah, berarti tempat ini sudah jauh dari wilayah kerajaan Banjar. Pangeran Adipati Antakesuma memutuskan untuk menetap dan mendirikan kerajaannya di tempat ini.
                Esok harinya Pangeran Adipati Antakesuma mengumpulkan penduduk kampung itu. Di hadapan para tetua kampung Pangeran berkata : “Aku sangat tertarik dengan tempat ini.  Terasa nyaman, tenteram dan sesuai bagiku. Bagaimana pendapat kalian jika aku menetap dan mendirikan kerajaan di sini ?”
                Para tetua kampung itu tercekat mendengarnya, mereka saling pandang dan hampir bersamaan menjawab : “Kami sekalian ini tiada adat beraja karena sejak dahulu kami beraja dan mengantarkan upeti ke Banjar”. 
                “Benarkah kalian semua tiada hendak berajakan aku ini ?”, tanya Pangeran Adipati Antakesuma penuh harap, “Untuk kalian ketahui aku ini adalah adik kandung dari raja Banjar yang sekarang bertahta, jadi sebenarnya kalian tidak usah ragu”.
                “Benarlah, tiada kami berkata dua lagi”, sahut semua mereka para tetuha kampung itu.
                Pangeran terdiam mendengarnya, ia menjadi sedih. Ketika tempatnya sudah sesuai di hati, tapi warga tidak menginginkan keberadaannya. Padahal mereka adalah rakyat kerajaannya sendiri. Namun Pangeran Adipati Antakesuma tidak pernah ingin memaksakan kehendak, walau ia dengan para pengikutnya dapat saja berbuat. Pangeran lupa meminta surat titah dari kakaknya Sultan Inayatullah, sebagai bukti yang dapat membuat warga kampung itu percaya.
                Pangeran Adipati Antakesuma pun berujar : “Aku tidak kecewa atas sikap kalian yang tidak bersedia berajakan aku. Sikap kalian benar dalam berhati-hati menerima setiap pendatang baru. Namun kutegaskan sekali lagi bahwa aku benar-benar keluarga kerajaan Banjar, tepatnya adik kandung raja yang memerintah sekarang ini yaitu Sultan Inayatullah. Sebagai kenangan bahwa kalian telah membuang raja, maka sungai ini kunamakan Pembuang dan kampung ini Kuala Pembuang”.   
                Selama beberapa hari Pangeran tinggal di Kuala Pembuang ini, sementara menunggu datangnya sebuah perahunya yang telah melaut untuk mencari tahu jalur pelayaran yang akan ditempuh selanjutnya. Ketika perahu itu datang, nakhodanya segera berdatang sembah : “Tuanku menurut pengamatan hamba pelayaran selanjutnya sangat sulit sebab pantai di sebelah barat ini sangat jauh menganjur ke laut. Seakan-akan tidak ada puting (bahasa Banjar : ujung) nya, serta gelombang di sana sangat besar”.
                Tempat yang dilaporkan nakhoda itu lalu dinamakan Pangeran Adipati Antakesuma dengan Tanjung Puting hingga sekarang. Setelah berpikir sebentar sehabis mendengarkan laporan nakhodanya tadi, Pangeran memutuskan perjalanan tetap akan dilanjutkan dengan memudiki sungai Pembuang itu sampai ke hulunya. Selanjutnya jika tidak mungkin lagi untuk dilayari, akan diteruskan lewat daratan dengan berjalan kaki terus ke arah barat.   
                Sesudah berpamitan dengan tetuha kampung Kuala Pembuang itu rombongan Pangeran pun berlayar mudik sungai Pembuang. Perjalanan mudik itu berlangsung perlahan-lahan, di setiap kampung mereka singgah dan bermalam. Walau pun perairan sungai sudah mulai sulit untuk dilayari karena arusnya yang deras dan banyak riam, namun Pangeran merasa seakan terpanggil untuk terus memudiki sungai Pembuang itu.
                Pelayaran mudik sungai mulai hanya dengan berdayung saja. Layar digulung dan diturunkan sebab di atas perairan sungai, cabang serta dahan pepohonan di setiap tebing baik kiri mau pun kanan sudah bertaut, sungai semakin menyempit.
                Sudah seminggu mereka berdayung dengan hanya berhenti di malam hari. Sudah beberapa dusun dan kampung telah disinggahi. Sudah banyak riam yang berarus deras dilewati, namun Pangeran tetap belum juga berhenti mudik seakan ingin mencari hulu dari sungai Pembuang itu.
                Suatu ketika rombongan perahu layar Pangeran Adipati Antakesuma itu berdayung mudik menyusuri rantau (bahasa Dayak Ngaju : tepi sungai yang lurus dan panjang) sisi kiri yang kesudahannya berakhir pada sebuah kampung yang cukup besar dan banyak penduduknya.
                Mereka pun berhenti dan bermalam di kampung itu, nampaknya kampung itulah yang selama ini melayangkan pulut (bahasa Banjar : pelet untuk burung, serasa terpanggil selalu untuk mendekat) nya terhadap Pangeran. Sebagai kenangan terhadap kampung itu, maka Pangeran Adipati Antakesuma menamakannya dengan Rantau Pulut.
                Mengenai siapa dirinya serta maksud perjalanannya hingga sampai ke tempat itu telah pula disampaikan oleh Pangeran kepada kepala kampung dan tetuha-tetuhanya. Mereka tidak keberatan atas niat Pangeran itu. Tetapi Pangeran mempertimbangkan kampung ini masih terletak dalam aliran sungai Pembuang yang telah membuangnya sebagai raja.
       Kali ini keinginan Pangeran untuk meneruskan perjalanan lewat sungai berhenti. Pangeran lalu memerintahkan untuk membongkar barang-barangnya serta selanjutnya kepada para nakhoda diperintahkan Pangeran untuk pulang kembali ke Bandar Masih, ibukota kerajaan Banjar. Semua perahu layar itu putar haluan untuk kembali.
                Pangeran berkata kepada kepala kampung Rantau Pulut : “Andika (bahasa Banjar : anda, saudara), untuk beberapa hari ini aku masih ingin bermalam dan beristirahat di kampungmu ini. Aku sangat berterimakasih atas sambutan dan penerimaan warga kampung ini. Aku ingin meneruskan perjalananku seperti tujuanku semula yakni mencari suatu tempat untuk mendirikan sebuah kerajaan. Sementara itu aku ingin memohon bantuanmu apakah kau tahu ada jalan darat yang dapat kulalui untuk pergi ke arah barat ?”
                 “Ada   tuanku,   sebuah   jalan  setapak  tua   sepanjang  bekas   galian   penambangan   emas   yang dilakukan orang-orang Cina yang dinamakan Parit Cina. Mungkin sekarang sudah menjadi semak belukar kembali sebab jarang dilalui, jalan ini menembus hulu sungai Arut di laman (bahasa Dayak Arut : kampung, desa, negeri) Pandau”, sahut kepala kampung Rantau Pulut dengan takzim (bahasa Arab : hormat) nya.
                Setelah cukup beristirahat maka Pangeran Adipati Antakesuma serta rombongannya pagi-pagi benar berangkat  dengan  berjalan kaki  ke arah barat  mengikuti  jalur jalan setapak Parit Cina. Menjelang
magrib mereka sampai di tepi sungai Arut, di laman Pandau. Rombongan Pangeran diterima warga laman tersebut dengan penuh keramahtamahan.
                Malam harinya Pangeran mengumpulkan sekalian warga laman Pandau tersebut dan mengutarakan siapa dirinya serta maksud perjalanannya.
                Lalu beliau melanjutkan : “Tiadakah hendak kalian semua berajakan aku ?”
                Sekalian tetua laman Pandau itu pun berucap : “Sudah kami pikirkan, dari pada kami manyula (bahasa Dayak Arut : mengabdi, mengantarkan upeti) ke Banjar terlalu jauh, lebih baik kami manyula yang dekat”.
                “Jika kalian saja yang menyetujuiku, bagaimana dengan laman-laman lainnya ?” tanya Pangeran pula lebih menjajaki.
                “Kami sekayu (bahasa Dayak Arut : sebatang kali, sepanjang sungai) Arut akan menunduk-kannya !” jawab sekalian warga laman Pandau itu.
                “Jika demikian kesungguhan hati kalian hendak berajakan aku, maka aku ingin bersumpah di hadapan kalian. Jika anak cucuku durhaka atau khianat kepada anak cucu kalian, maka mereka tidak akan selamat dunia akhirat. Demikian pula sebaliknya jika anak cucu kalian durhaka atau khianat kepada anak cucuku”, kata Pangeran.
                Untuk menguatkan sumpah janji itu kedua belah pihak mengorbankan warganya, masing-masing seorang lelaki suku Banjar dan seorang lelaki suku Dayak Arut.  Sebuah lobang digali  dan  keduanya  dikubur  hidup-hidup,  di atasnya diletakkan sebuah batu besar.  Orang-orang Arut mengenal batu tersebut dengan sebutan Pati Darah Janji Semaya.       
                Sedangkan Pangeran menamakan batu itu Batu Patahan karena ia sudah bertahan di tempat itu. Batu itu yang merupakan prasasti  “tumbal persaudaraan”  hingga kini masih ada di desa Pandau termasuk kecamatan Arut Utara kabupaten Kotawaringin Barat.
                Kemudian dekat Batu Patahan itu oleh Pangeran Adipati Antakesuma didirikan Balai Kakapa (bahasa Banjar : tempat jedah, bangunan beratap tanpa dinding), bahannya semua dari kayu jati bawaannya dari Banjar; asalnya dahulu itu bawaan Pangeran Surianata (raja Banjar pertama) dari kerajaan Majapahit. Ramai warga laman Pandau itu bergotongroyong membantu Pangeran mendirikan bangunan itu.
                Kepada warga sekayu Arut, Pangeran menghadiahi pusaka dari kerajaan Banjar yakni Sarampang Bakurung (sejenis trisula) dan Sangkuh Canggah (tombak berkait). Selain itu seluruh orang sungai Arut tidak dibenarkan atau tidak perlu menyembah anak cucu Pangeran Adipati Antakesuma.
                Sesudah cukup rasanya beristirahat maka Pangeran pun ingin meneruskan perjalanannya menghiliri sungai Arut serta kemudian memudiki sungai Lamandau.  Setelah dua hari lamanya berkayuh perahu sampailah ke sebuah laman yang bernama Tanah  Ambau  Tanjung  Pangkalan  Batu  yang berada di bawah pimpinan Kiai Gede dan Demung Tujuh (Demang Tujuh Bersaudara). 
                Patih Patinggi Diumpang, pemimpin suku sekayu Arut naik ke darat mendapatkan Kiai dan Demung Tujuh serta para tetuha dan warga laman itu seluruhnya.
                “Kami ini datang mengantarkan keluarga dari kerajaan Banjar. Nama beliau Pangeran Adipati Antakesuma dengan maksud untuk mendirikan kerajaan di sini”, demikian singkat kata Patih Patinggi Diumpang.
                Kiai Gede, Demung Tujuh serta seluruh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu gembira mendengarnya. Sudah lama mereka ingin bertemu dan memiliki seorang raja, kali ini malah calon raja yang telah datang mengantarkan dirinya.
                Kiai Gede pun lalu basimpun (bahasa Banjar :  berbenah, berkemas) rumahnya. Sesudah basimpun itu Kiai Gede lalu turun ke tepi sungai Lamandau mendapatkan Pangeran Adipati Antakesuma, menghaturkan sembah dan mengajaknya naik ke darat bermalam di rumahnya. 
                Seluruh rombongan Pangeran naik dan disambut oleh warga laman Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu dengan penuh keramahan. Ramailah mereka itu saling bercerita dan berbagi pengalaman.
                Akan halnya Patih Patinggi Diumpang, ia memohon diri pada Pangeran untuk kembali ke lamannya, namun atas saran Kiai Gede, ia dan para pengikutnya pulang dengan jalan berputar lewat hulu sungai Lamandau.
                “Kau beritahulah warga di sekayu Lamandau dan pemimpin mereka Patih Jayang Pati, yang kita ini kedatangan raja dan saat ini berada di Tanah Ambau Tanjung Pangkalan Batu”, demikian pesan Kiai Gede kepada Patih Patinggi Diumpang.
                  Sedangkan Kiai Gede mengirimkan pengikutnya ke Jelai dan Lawai (sekarang termasuk wilayah provinsi Kalimantan Barat), dan sekembalinya utusan itu semuanya membawa kabar yang menggembirakan,  menerima kedatangan Pangeran dan bersedia menghamba padanya.
                Pangeran lalu mendirikan istananya yang dinamakannya Istana Luhur Tiang Baukir dan  menetapkan undang-undang kerajaan dalam sebuah kitab yang dinamakan Kanun Kuntara.
                Selain itu dibangun pula perpatih (rumah jabatan mangkubumi/perdana menteri) yang dijabat oleh Kiai Gede dengan nama Gadung Bundar Nurhayati, juga perdipati (rumah jabatan panglima perang) yang namanya Gadung Asam, dan Paagungan (tempat menyimpan pusaka kerajaan), Paseban (tempat menghadap) serta sebuah surau yang mengalami perluasan dan perbaikan pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya yang hingga sekarang dikenal dengan nama masjid Kiai Gede.
                Selama masa pembangunan semua kelengkapan pemerintahannya itu Pangeran dan keluarganya tinggal di lanting (bahasa Banjar : rumah di atas rakit dari kayu log terletak di atas air, di tepi sungai), hingga ketika anak keduanya seorang perempuan lalu dinamakan Puteri Lanting.
                Di belakang areal pusat kerajaan itu terdapat sebuah danau sebagai perhuluan dari sungai Teringin (yang banyak ditumbuhi pohon beringin), anak sungai Lamandau, yang muaranya jauh berada di sebelah hilir dekat muara sungai Lamandau sendiri. Sekeliling Istana Luhur Tiang Baukir dibangun pagar pengaman tradisional dari papan kayu ulin tebal yang disebut kuta. Itulah sebabnya maka Pangeran Adipati menamakan tempatnya itu dengan Kuta Teringin, yang berubah menjadi Kutaringin serta kemudian akhirnya menjadi Kotawaringin.
                Setelah mendapat restu dari kakaknya Sultan Inayatullah, maka Pangeran Adipati Antakesuma mema’zul (bahasa Arab : mengangkat dengan banyaknya dukungan atau kekuatan) kan dirinya sebagai raja yang pertama dari kerajaan Kotawaringin dengan gelar Ratu Bagawan. Daerah kekuasaan kerajaan Kotawaringin meliputi sungai Mendawai (sungai Katingan) di sebelah Timur, sungai Sampit (sungai Mentaya), sungai Pembuang (sungai Seruyan), sungai Kumai, sungai Lamandau dan anaknya sungai Arut, hingga sungai Jelai di sebelah Barat.
                Untuk melindungi kerajaan Kotawaringin, para pengikutnya yang setia dan digjaya duduk bersamadi hingga gaib, pada beberapa pojok tertentu dari wilayah kerajaan tersebut dengan radius sekitar lima kilometer. Mereka itu adalah Datu  Batu Hitam, Raden Tukas Banua, Galeger Bosi, Puteri Emek-emek, Rangga Santrek, Rantai Wulung dan Simpai Dudung.
                Menjelang akhir hayatnya Ratu Bagawan (Pangeran Adipati Antakesuma) menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya Pangeran Mas Dipati, sedangkan mangkubumi masih dijabat oleh Kiai Gede. Kemudian Ratu Bagawan pulang ke Bandar Masih, meninggal dalam usia tuanya serta dikuburkan dalam satu kompleks makam dengan moyangnya Sultan Suriansyah, raja kerajaan Banjar yang ke delapan di kampung Kuin Utara, kabupaten Banjar provinsi Kalimantan Selatan.      (*)(*)

Asal Usul Tana Malai Tolung Lingu

  Gunung Bondang adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Indonesia. Secara administratif mencangkup ...